Minggu, 15 Desember 2019

Si Bungsu Desember


Malam-malam begini biasanya paling enak ditemani indomie goreng dua bungkus pakai telor ceplok, minumnya cokelat hangat aja deh ya. Hmm, novel dan komik semuanya berdebu, nggak tau deh sudah berapa abad tidak tersentuh, pergi ke toko buku juga sudah tidak pernah, rasanya rindu juga berpetualang di alam narasi-narasi orang. Sekarang kerjaannya lebih ke hal yang lebih serius walaupun dulu aku juga menamakan kegiatan menulisku dengan pekerjaan yang serius tapi sayangnya waktu belum mengizinkan.



Aku tahu bahwa perjalanan hidup sudah ada yang mengatur, kita sebagai makhluk Tuhan hanya ditugaskan bersyukur dan selalu siap dengan segala jalan hidup yang digariskan oleh-Nya. Hati dan logika harus selalu tersambung oleh Sang Pencipta agar tidak salah jalan dan salah bersikap. Namanya juga manusia yang tak pernah luput dari khilaf dan dosa tapi waktu tak akan bisa dikembalikan, hanya dapat diperbaiki hari demi harinya. Semua kejadian yang sudah berlalu biarlah menjadi pengingat diri yang kalau memang jelek berarti jangan diulang, kalau memang baik maka pertahankan. Tapi memang benar, manusia juga mudah lupa, maka beruntunglah aku dan kalian tentunya yang dikelilingi orang-orang yang selalu mengingatkan. Mungkin mereka yang selalu ada untukku dan kalian tidak mengharapkan balasan tapi setidaknya jika tidak bisa membalas kebaikan mereka, jangan melukai hatinya.



Desember, si bungsu dari Januari sampai November. Akhir tahun dimana musim penghujan tiba, yang biasanya juga dipakai sebagai hari-hari pernikahan. Namun di akhir tahun begini, aku memakai Desember sebagai masa-masa memperbaiki diri, merenung hal-hal yang sudah kuhabiskan selama dua belas bulan. Setiap tahunnya aku selalu dikejutkan dengan hal-hal baru yang penuh warna, begitu banyak hal yang menyenangkan, menyedihkan, membuat rasanya ingin menyerah saja, sampai tak memiliki gairah untuk mengerjakan apapun. Dan pada akhirnya aku selalu bersyukur karena selalu diberi kekuatan untuk melewati semua itu.



Kamu pernah nggak percaya tentang harapan-harapan yang ditulis lalu ditempel di dinding? Beberapa atau kebanyakan orang-orang sukses yang aku lihat di youtube atau di televisi membuat seperti itu, awalnya aku tidak percaya tapi tak pernah ada salahnya mencoba sesuatu hal baik, kan?



Ya, aku tulis beberapa harapan dan kutempel di madding kamar yang sengaja berhadapan denganku, jadi kalau aku bangun dari tidur, lalu aku membaca harapan-harapan itu dan langsung aku aamiin-kan dalam hati. Lalu apakah terqobul? Haha.. aku juga belum tau.



Kalau ditanya apa cita-citaku untuk saat ini. Jawabannya sederhana saja, aku tak pernah memiliki cita-cita untuk menjadi orang yang kaya raya, hanya dicukupkan saja segala kebutuhanku dan keluargaku, juga dicukupkan untuk bisa memberi dan bersedekah kepada orang-orang yang membutuhkan. Aku ingin bermanfaat untuk semua orang, minimal orang-orang terdekat. Aku ingin membahagiakan semua orang yang aku sayangi, meskipun aku tahu bahwa manusia tidak bisa membahagiakan semua orang secara bersamaan, tetap harus ada yang dikorbankan. Ya, manusia bukan makhluk sempurna.



Apa cita-citamu saat kecil? Apa kamu ingat? Kalau aku, aku ingin jadi dokter bukan agar bisa membeli barang-barang mewah tapi aku ingin menjadi dokter yang rela mengutamakan keselamatan pasien-pasiennya terlebih dahulu daripada harus menunggu biaya administrasinya. Aku ingin jadi guru yang mencerdaskan dan mendidik murid-muridku menjadi orang-orang yang memang layak dikatakan ‘manusia’ yang beradab, jadi selogan ‘pahlawan tanpa tanda jasa’ itu tetap harum. Lalu, aku ingin menjadi penulis yang tulisannya dikenang minimal di tanah kelahiranku sendiri, yang bisa membuat si pembaca bersyukur dengan hidupnya sendiri bukan sekedar tulisan-tulisan romansa. Jadi, sekiranya Tuhan merindukanku dan para malaikat-Nya menjemputku, aku tidak hanya meninggalkan nama.



Terkadang miris memang saat aku berkata atau berucap tapi mereka bilang, pantas saja pandai merangkai kata kamu kan penulis jadi jago berspekulasi. Atau, dasar tukang khayal! Apalagi kalau yang mengatakan itu adalah orang-orang terdekat atau orang-orang yang kusayang. Tidak semua orang paham bahwa menulis itu sebenarnya kata hati yang sulit dikeluarkan dalam tulisan. Semua orang mungkin pandai berbicara tapi tidak semua orang bisa menumpahkannya ke dalam tulisan.



Aku salut dengan mereka yang bisa menulis sajak-sajak yang kalau dibaca sampai menggetarkan jantung, merinding sebadan, sedalam itu mereka menahan emosi jiwa yang mungkin saja sebenarnya bisa dikeluarkan lewat amarah atau melontarkan kata-kata kasar tapi tak mereka lakukan.



Desember ini aku lebih banyak diam dan tidak berkomentar apapun atau memberi pembenaran kepada mereka yang menyalahkan aku atas sikapku. Kembali lagi aku hanya manusia biasa yang tidak bisa membahagiakan semua orang tapi aku selalu berusaha untuk selalu memberikan yang terbaik tapi mungkin caranya yang salah. Satu hal yang aku pahami, sebuah hasil tidak akan pernah berkhianat pada proses. Ada beberapa hal yang ingin aku capai, berarti aku tidak boleh hanya diam saja, aku harus berusaha dan tentunya berdoa.



Untuk kedua orang tuaku, sahabat-sahabatku, dan untuk yang terkasih.

Aku sadar bahwa waktuku akhir-akhir ini hanya kupakai sendiri, kalau ada yang bilang aku egois karena mementingkan diri sendiri, aku tak menyalahkan itu. Aku hanya ingin mengatakan bahwa aku sedang berjuang menuju garis finish, dengan segala keterbatasan diri. Aku tidak haha-hihi di luaran sana, aku tidak bermalasan-malasan apalagi melarikan diri dari kalian. Tentang finansial, tentang kejenuhan, tentang mental dan fisik yang ditekan, aku siap babakbelur untuk membahagiakan kalian, terus berdiri tegap memberikan yang terbaik untuk kalian. Karena aku menyayangi kalian yang selama ini sudah ada untukku. Namun jika caraku salah, hanya maaf yang dapat terucap dari bibir ini, hanya kata maaf yang dapat terlintas di hati, hanya air mata yang mewakilkan betapa pengecutnya diri ini karena tak sanggup menjelaskan sebuah kebenaran. Tidak pernah ada niat untuk membohongi atau membodoh-bodohi kalian. Sadar memang aku bukanlah manusia yang baik tapi aku bukan manusia yang tega berbuat jahat dan melukai hati makhluk ciptaan Tuhan. Terimakasih untuk kalian yang sudi mendengarkan penjelasan manusia hina ini. Kemudian semoga aku bisa membuktikan bahwa waktu yang kubuang-buang selama ini adalah untuk membahagiakan kalian.



Tidak pernah ada gunanya berdebat. Aku, kamu, kita tidak tahu bagaimana rasanya di posisi yang sama karena kita memiliki posisi yang berbeda. Aku bilang itu angka enam tapi di posisi yang lain, kamu bilang itu angka sembilan. Manusia memang biasanya hanya pandai menghakimi tanpa memberi ruang pada diri sendiri untuk memahami. Kalau pikiranku benar tapi bukan berarti kamu salah.



Kalau mereka berlomba-lomba memiliki rumah yang mewah, aku hanya berusaha menata rumahku yang cukup dan layak untukku dan keluargaku kelak. Tempat dimana bukan hanya sebagai tempat tidur dan menaruh pakaian tapi tempat kembali pulang yang hangat, nyaman dan aman, yang selalu dirindukan.



Si bungsu penghujung tahun semoga kisah-kisahnya menjadi pelajaran hidup untuk kembali pada jalan yang benar, memperbaiki diri. Tidak pernah ada perjalanan yang baik-baik saja, selalu ada hujan, gersang, dan badai tapi percayalah akan selalu ada pagi yang menanti, akan selalu ada senja yang hangat. Terimakasih untuk mereka yang senantiasa bersamaku, yang tidak pernah menyerah untuk selalu menggenggam tanganku, yang tidak pernah pergi seburuk apapaun aku.   

Minggu, 06 Januari 2019

RUMAH


Malam ini mari berbicara tentang rumah. Bukan tentang arsitektur, bukan juga tentang konstruksinya, gaya kekinian atau model kuno, bukan tentang seberapa mahal atau murah, bukan juga tipe dua-satu atau yang megah ala-ala istana. Bukan yang seberapa luas halamannya, bukan juga warna catnya. Tapi mari berbicara tentang hangat atau dingin, tentang aku, kamu, dan kita yang berada dalam satu atap kehidupan—rumah.

Tuhan memilihkan aku kehidupan pasti dengan berbagai alasan. Agar aku kuat, agar aku bahagia, yang paling penting agar aku bisa belajar tentang segala suasana, agar aku bisa berdiri tegak walau badai menerpa kaki. Begitu juga aku, memilihmu sebagai penenang, bahkan obat-obat terlarang itu juga kalah. Tidak. Aku tak pernah berdoa semoga kau tempat kembali aku melepas lelah, tapi semoga aku menjadi tempat melepas penatmu—rumahmu.

Hari itu, hari dimana aku termenung menatap senja menuju magrib. Tarikan nafasku perlahan syahdu menembus udara, sesekali kututup mata pelan lalu kubuka lagi sambil menikmati nyawa yang masih tersisa dalam tubuh. Pikiranku melayang mengingat pertengkaran semalam, aku bisa apa? Lagi-lagi, kupeluk kedua kaki yang kutekuk sembari menangis tanpa suara, hati tentu menjerit, kenapa harus aku Tuhan?! Kenapa?! Lambat laun, usiaku bukan remaja lagi, aku mulai acuh pada kondisi yang sebenarnya mencekik. Seperti semuanya tak pernah terjadi, kututup telinga rapat-rapat. Keegoisan hanya bisa merusak semuanya, bahkan seorang anak yang tak mengerti selalu jadi korban. Kukubur cerita-cerita penuh air mata itu.

Kata kakak temanku, itulah dik, kadang perceraian adalah jalan yang harus diambil tapi memang bukan jalan yang terbaik. Tabahlah. Lalu hatiku bergeming, lalu mengapa harus ada pernikahan? Bukankah menikah memiliki janji yang sakral? Kau berjanji di depan wali mengatasnamakan Tuhan. Lalu kemana cinta? Atau apa arti cinta? Kata mama, di dunia ini sudah hampir punah cinta sejati. Terkadang bertahan bukan karena masih ada cinta tapi karena anak-anak yang menguatkan. Sedih memang tapi inilah hidup.

Aku bukan anak yang baik tapi bukan juga seorang brandal kampung. Aku hanya manusia biasa yang berusaha mengubah hidupku nanti. Bukan bermimpi mempunyai rumah yang mewah dan megah tapi mempunyai rumah yang hangat karena canda dan tawa, atau saat ada yang menangis ada pula yang memeluk untuk menenangkan. Aku punya mimpi, suamiku nanti yang senantiasa mengecup keningku setiap membuka mata sampai menutupnya kembali, bukan hanya di awal pernikahan tapi sampai aku kehilangan nyawa. Bukan sekedar rumah dengan halaman yang luas tapi penghuninya dengan hati-hati yang luas untuk saling memaafkan. Untuk anak-anakku nanti, nak, kalau kau memiliki saudara bagaimanapun sifatnya, jagalah ia, bimbing ia, jangan biarkan ada yang merasa seorang sendiri karena kita keluarga. Kemari nak, setiap hidupmu diterpa angin kencang, ada Ibu dan Ayah yang siap memelukmu, yang siap mendengarkanmu, mengusap air matamu karena kami tak bisa menjamin hidupmu akan selalu tersenyum, kau harus mengerti nak, inilah hidup. Doaku sebagai ibumu, semoga kau tak pernah merasa dipecundangi dunia. Nak, taka da manusia yang sempurna termasuk Ibu dan Ayahmu, jikalau kami berbuat kesalahan, jangan hakimi kami, maafkan saja.

Ada yang menangis di sudut lorong sana, gelap, tapi aku kenal suaranya. Kudekati suara gemanya. Kepegang pundaknya, isak itu hening. Dia bercerita. Dia bukan seorang yang malas, bukan seorang yang bodoh. Dia bukan anak kecil, usianya di bawahku tiga tahun. Ada apa?

Ayah, Ibu, kalian adalah panutan kami bagaimana pun kondisinya. Kami tahu kalian hanya ingin menjaga kami dari segala macam bahaya dan dosa tapi tidaklah boleh kami mencicipi kebebasan sedikit saja? Tidakkah boleh kepercayaan kalian kami genggam sendiri? Tidak ada hari tanpa kekecewaan, maka dari itu izinkan kami belajar. Sesungguhnya, saat kecurigaan itu meluap dan tercurahkan, saat kalian berucap kegiatan yang kami lakukan tak ada gunanya, saat hal yang kami lakukan tidak berguna, ada hancur yang tercerai-berai dalam tangis tanpa air mata. Ayah, Ibu, percayalah bahwa segala sesuatu yang kami lakukan adalah untuk membahagiakan kalian. Kami memang bukan manusia yang sempurna maka dari itu kasih sayang kalian yang selalu bisa menyempurnakan. Kami ingin rumah yang penuh kehangatan, dalam peluk dan doa. Kami masih bisa berdiri dengan hadirnya si pembenci tapi lumpuhlah perjalanan kami saat tidak ada restu dari kalian, Tuhan pun menunggu ‘aamiin’ dari ayah dan ibu. Cukup ceritakan saja apa yang tidak boleh kami lakukan, cukup marahi kami bila melanggar, cukup beritahu kami tanpa harus mengurung dan menampar, cukup peluk kami setiap saat tak peduli usia kami yang sudah tidak remaja lagi. Cukuplah kalian sebagai tempat kami kembali pulang dari segala setan jalanan, dari segala kebohongan, dari lelah berlari mengejar mimpi. Teduhkan hati kami. Percayalah Ayah, Ibu, kami pun selalu mendoakan kalian semoga Tuhan masih mengizinkan kami melukis sabit di bibir kalian.

Sayang, ini khusus untukmu. Dari segala hati yang pernah kusinggahi, jangan goreskan luka untukku. Aku hanya punya satu, kalau sudah kupilih kau, berarti tidak ada lagi yang lain. Sayang, tegarlah kau dengan segala cerita yang akan kita tulis nanti, seperti katamu waktu itu, kita akan menceritakannya pada kesepuluh anak-anak kita suatu saat ini. Sayang, kataku saat hari ulang tahunmu, aku mau bersamamu dari nol sampai titik puncak suksesmu kelak. Kau tak perlu jadi orang luar biasa, cukup menjadi hebat untukku dan mimpi kita. Jangan remas kepercayaan yang sedang kita bangun, karena ketahuilah bahwa kertas yang sudah diremas takaan bisa kembali rapi, bahwa kaca yang sudah pecah takkan kembali utuh meski sudah direkatkan kembali. Sayang, pelukmu menjadi teduh. Namun hati-hati amarahmu bisa menjadi sedih yang teramat dalam. Semoga kau tak salah memilihku, semoga aku tak keliru, semoga Tuhan merestui. Semoga aku menjadi rumahmu sampai kontrak hidupku di dunia usai.

Terimakasih Tuhan atas semua karunia-Mu. Rumahku memang tak mewah, tak selalu hangat tapi Engkau masih beri kami kekuatan untuk saling menggenggam satu sama lain. Berikan aku kekuatan, Tuhan, agar bisa menebar senyum, canda dan tawa.

Kawan, ciptakan kenyamanan dalam rumahmu. Rendahkan ego, redamkan amarah, hapus semua tangis. Percayalah, Tuhan tidak pernah tertidur. Kamu tidak pernah sendiri, damaikan hatimu dengan selalu memaafkan. Kau hidup karena orang tuamu, jangan hakimi mereka, cukup benarkan sikapmu sendiri karena kamu tidak bisa merubah seseorang kalau dirimu sendiri masih terjebak dalam lubang hitam. Kawan, percayalah, kemanapun kamu pergi, rumah akan menjadi tempat kaki kembali.

Sekian.

Minggu, 30 September 2018

Terimakasih

Matahari itu muncul dari sebelah mana? Jangan bohong, kenapa aku selalu melihatnya dari sorotan matamu—hangat. Kalau bulan hadirnya karena apa? Jangan bohong, aku yang gelap lalu kau hadir menyelamatkan—menerangi. Dalam hidup ini ada tiga hal yang aku percaya; pertama, ada yang datang hanya sebagai pelajaran hidup. Kedua, ada yang datang sebagai penyembuh di kala luka tidak kunjung kering. Ketiga, dia yang memang ditakdirkan sebagai teman hidup, yang selalu hadir untuk mendampingi, bukan sekedar melengkapi, yang setia tidak pernah pergi sekalipun di posisi terendahmu, yang selalu memamerkan pada dunia bahwa kamulah yang tercantik setelah ibumu meskipun sudah keriput di mata, dahi, dan sekitar pipi, atau sudah memutih rambut panjangnya itu. Lalu pertanyaannya, kamu yang mana?

Jangan biarkan aku menulis, hentikan jemari-jemari ini menari tanpa jeda, jangan biarkan kamu menyesal karena tak sanggup. Kalau hidup adalah tentang pilihan, apa hati juga? Apa kamu memilihku juga karena sebuah pilihan? Karena ada beberapa kriteria yang kamu cari ada di aku? Lalu, saat aku sudah tidak memiliki semua hal yang kamu inginkan itu, semuanya hilang? Termasuk janji-janjimu itu? Aku tidak pernah bisa menjawab saat kau tanya, mengapa kamu mencintaiku? Sedangkan kamu selalu bisa menjawabnya dengan mudah. Karena yang aku pahami, kasih sayang yang ada tidak pernah beralasan, percayalah saat alasan-alasan itu musnah, maka kasih sayang pun musnah. Ada doa yang kupinta pada Tuhan dari sebelum aku mengenalmu, semoga aku hanya dijatuhkan hati pada dia yang memang takdirku.

Kamu salah memilih kalau begitu, kamu salah memilih orang yang hatinya tulus. Atau aku yang memang bodoh? Percayalah, aku tidak pernah bisa membenci siapa pun, sekalipun dia yang telah membuat luka dalam, sekalipun dia yang membenciku tanpa sebab, sekalipun dia yang hanya memanfaatkan kebaikanku. Aku yang keliru telah mempercayai orang yang salah, aku yang salah sudah menutup telinga dari mereka yang berbisik ini-itu tentangmu, rasa itu mengalahkan logika. Tapi tak apa, aku hanya sedang dipecundangi dunia.

Dan, terimakasih karena telah mencintaiku, dulu. Atau sandiwarakah itu? Yang bak’ romeo n’ Juliet. Terimakasih karena telah memberikan kesempatan untuk merasakan bagaimana rasanya diperjuangkan. Terimakasih atas malam-malam yang selalu kita semogakan akan cepat pagi. Terimakasih atas nikmatnya menunggu karena rindu sampai beratnya rindu karena hanya dirasa sendiri. Terimakasih karena sudah memberikan aku kesempatan berjalan di belakangmu, mengusap punggungmu saat lelah itu muncul. Terimakasih karena sudah pernah mengusap air mataku sampai pada akhirnya kau juga yang membuat air mata itu mengalir deras dan sungguh aku tak ingin kau mengusapnya lagi. Terimakasih karena sudah pernah berjuang bersamaku sampai kau menyerah dan membiarkan aku jatuh sendiri. Terimakasih juga karena telah meninggalkanku, meninggalkan anganku, meninggalkan rencana kamu, aku, kemudian kita, dan sampai akhirnya hanya rencana kosong yang terbang melayang tanpa punya tuan. Terimakasih karena kamu sendiri yang membuktikan omongan orang-orang yang dulu aku abaikan. Sekali lagi terimakasih atas malam yang pernah kita tatap bersama waktu itu, di bangku yang terbuat dari bambu itu, dimana mata kita terikat oleh lamunan masa depan yang saat ini terbuang percuma. Terimakasih karena sekarang aku mengenalmu.

Akan ada hari-hari panjang tanpamu. Aku tak pernah menyesal mencintai seorang bajingan sekalipun karena itu pilihanku, seperti kamu memilihku. Ini keputusanmu, lalu aku mengalah. Semoga aku bisa berdamai oleh waktu dan masa lalu, sehingga saat kamu menemukan penggantiku, aku bisa tersenyum karena itu. Semoga langitku tidak lagi abu-abu. Sekarang aku tahu, kamu dihadirkan sebagai pelajaran hidup. Dan terimakasih karena kamu telah meninggalkanku, aku tahu bahwa begitu banyak yang menyayangiku, bahkan Tuhan begitu mencintaiku. Terimakasih, kamu kado terindah di Maretku yang lalu.

Minggu, 22 April 2018

The Sweetest Gift in March


Ranting jatuh karena rapuh. Keropos dalamnya lalu mengalah pada waktu, seperti ikhlas terjun bebas dari ketinggian yang ia pertahankan untuk tetap di atas. Tanpa atau dengan terusik angin. Ranting memang tak pernah kokoh seperti induknya namun ia melengkapi rimbunnya daun, teduhnya yang menangkal panas matahari. Semua sudah pada porsinya, tak perlu disamakan atau dibeda-bedakan. Tuhan selalu adil dengan ciptaan-Nya. Begitu juga aku, jika yang kau cari tidak ada di aku, biar saja begitu, apa adanya. Sederhanakan saja, tak perlu banyak teori, kita melengkapi.

Hari-hari itu jauh dari terang, namun juga tak hujan. Rasanya, aku baik tapi ada yang hilang. Ada yang mesti kuikhlaskan, ada yang harus kurelakan, ada yang harus kumatikan, ada yang harus kutinggalkan. Masa-masa sulit memang sudah kulewati, waktunya pahit, rasanya hambar, tapi harus kutelan bulat-bulat. Hanya doa yang tersirat dalam dada, semoga ada penggantinya.

Aku pernah berdoa pada Tuhan agar bisa kubalas semua kasih mereka yang menghampiri. Karena aku tahu berjalan dengan satu kaki memang tak mudah, berlari seorang diri memang tak akan bahagia. Namun rupanya Tuhan masih mengatakan, belum waktunya. Aku berdoa lagi pada Tuhan, semoga aku hanya dijatuhkan hati pada ia yang memang takdirku.

Ada masa dimana aku ingin menutup hati dari semua yang menghampiri dan terbenam dalam dada. Hanya ingin benar-benar terbebas dari semua hal yang membuat gelisah. Kata orang, kamu harus punya penggantinya. Dalam hati, aku tak butuh. Sebenarnya hati hanya butuh tenang yang muncul dari ketegaran dan keikhlasan. Kemudian seorang sahabat berbisik, buka mata jangan menutup hati terlalu lama karena bisa jadi yang kamu cari sebenarnya ada namun tersembunyi oleh masa lalumu.

Begitu saja hari yang kulalui sama, bercengkrama bersama teman-teman dan bersendagurau bersama bersama sepi yang kusembunyikan sendiri. Aku keluar dari zona nyaman dari mereka yang menyayangiku tapi tak ingin kusakiti hatinya. Aku merasa berbeda, merasa ini bukan aku namun masih harus kujalani. Sampai sudah tersirat, aku tidak percaya cinta.

Beberapa detik kemudian, ada ketidaksengajaan yang entah darimana ia berasal. Ada bahagia yang kutemukan dari seorang pria yang sama sekali tak kuinginkan tapi aku mengenalnya. Senang itu muncul dengan sendirinya, mengalir begitu saja tanpa rekayasa. Sayangnya, aku masih menutup diri dan membohongi hati. Rasa takut tentang tempo lalu masih saja menggelitik di fikiran. Tentang bagaimana rasanya luka saat menjaga tulus kasih namun bodoh karena bertahan seorang diri, padahal hati butuh utuh bukan separuh.

Dia yang saat ini menetap dibenakku, yang masih kupertanyakan, apa benar tentang rasa ini? Secepat ini? Aku menunggu sampai akhirnya dia mengungkapkan, aku mengerti tapi aku masih memilih diam. Maaf, aku masih ragu. Kabar darinya mulai bermunculan tanpa aku minta dan aku bujuk untuk diceritakan. Kicauan tentang ‘kekasihnya’ yang dulu atau masih sampai saat ini entah benar atau tidak, aku hanya tidak tahu mana yang benar mana yang dusta. Hanya butuh diyakinkan.

Dia meyakinkan kembali. Kini kau berhasi membuatku mencari, berhasil membuatku menunggu, berhasil membuatku cemburu. Meski dia takkan pernah tahu. Ragu itu perlahan pudar dengan bagaimana dia menjaga tubuh ini agar tetap hangat, tentang bagaimana dia membuat agar aku baik-baik saja, tentang bagaimana genggaman halus tak terlepas. Hujan itu jatuh deras tak tertahankan. Aku yang beralasan sebenarnya hanya ingin ada di belakangnya, mendampinginya, tapi ternyata hanya membebaninya. Dari sepenggal kisah itu aku baru yakin kau nyata dan aku tak buta.

Kubilang, bersabarlah, tunggu. Dia bertanya lagi dan aku hanya tidak ingin kehilangan pertanyaan itu. Kupastikan agar taka da bimbang dan hadir ketenangan tanpa ada pertanyaan yang mengantuinya. Tuhan baik padaku, selalu saja kudiberi hadiah istimewa setiap tahun saat usia bertambah. Bukan barang limited edition, bukan bunga yang semerbak wanginya, juga bukan barang yang sedang booming di kalangan masyarakat. Kamu adalah hadiah termanis yang Tuhan beri untukku.

Aku memberinya jeda berfikir bukan mengulur karena tentang rasa semua orang mesti yakin untuk menerimanya. Saat komitmen itu terucap, hidupmu, masalahmu dan senangmu tandanya sudah milik berdua. Jangan takut untuk berdiri tanpa satu kaki, karena ada aku. Jangan takut tertawa sendiri karena ada aku. Dan dia mengatakan, jangan takut, ada aku.

Bunga bertebaran dimana-mana, begitu kata si yang punya cinta. Dunia terasa milik berdua, begitu kata yang punya cinta. Namun dia berhasil menyederhanakan, dan aku bahagia. Percayalah, akan ada banyak badai di sana, yang kita perlu hanya masih saling menggenggam dan percaya semua akan baik-baik saja.  

Untuk dia, kamu merebahkan badan di atas kursi, kau menyuruhku bersandar di sebelahmu, kau bawa kepalaku beristirahat di dadamu, aku dengarkan lantunan deta jantungmu yang tidak beraturan itu. Katamu, itu gara-gara aku. Aku teduh, damai saat itu meski aku tak mengatakan tapi kuyakin kau tahu. Kau melantunkan nada-nada dari senar gitarmu, kau bernyanyi, kubilang itu tak merdu tapi aku tak meninggalkamu karena apapun yang ada pada dirimu adalah pelengkap aku.

Kemudian, kau membawaku melihat bintang, menatap langit malam dan menikmatinya. Kau bertanya, apa aku bosan? Dengan tegas kujawab, tidak. Percayalah, aku mengerti kau gelisah karena sesuatu dan rasa kecewamu tentang suatu hal yang aku tak tahu.

Ada hobiku yang baru. Aku suka melihat wajahmu, aku suka saat kedua tanganmu merebahkan untuk menyambut aku ada di dekapmu. Aku suka mengusap punggungmu saat kau keluhkan pegal. Aku suka mendengarmu memetik gitar itu, lalu aku bernyanyi. Aku suka menemanimu. Aku suka ada di belakangmu saat lelah itu tidak bisa kau sembunyikan lagi. Aku suka saat wajah cemasmu itu terlihat karena kau tahu aku banyak yang menggoda. Aku suka saat kau berkeluh kesah denganku. Aku suka saat kau memintaku menemanimu.

Aku hanya berdoa semoga doaku yang terakhir pada Tuhan itu benar-benar dikabul.


Selasa, 06 Februari 2018

Semusim yang Telah Berlalu

Semusim yang telah berlalu,  saat gelap itu kau beri kilau,  saat benci dengan mudah kau ubah menjadi sempurna,  saat kau usap bersih serpihan kaca yang telah pecah,  saat kau perbarui semua hal,  saat dengan mudahnya kau berhasil membuat diri ini menjadi seseorang yang baru,  yang berani menjadi lebih maju.  Kau itu tukang sihir atau apa?  Berani-beraninya menyulap pandangan mata yang lugu ini.  Sampai rindu yang tak bisa tertahan,  tapi aku tak yakin kau mampu, baiklah, jangan. Ramuan apa yang telah kau masuki ke dalam minumanku?  Sampai-sampai jatuhlah aku dari rasa tenang yang sedang kuusahakan,  dari zona nyaman dimana aku ingin beristirahat dari hati,  dimana aku ingin berdamai oleh waktu.  Kau mampu mengikutsertakan aku pada perlombaan memenangkan hatimuSelamat!

Ada raga yang berbalut bayang
Semu tak merona
Sedang merah tak jua padam
Meraba siapa gerangan
Halu sudah menjadi biru
Ditengok hati tak ada yang punya
Wahai mata, bisakah kau mendekat?
Lebih dekat
sampai lekat
(1 Mei, 2017)

Waktu ke waktu aku tidak mengikuti egoku,  berjalan apa adanya,  menetap pada suatu kapal yang tak memiliki layar,  diam.  Namun tak mati rasa,  hanya kututup mata rapat-rapat.  Kuambil kemudinya,  kusembunyikan,  agar tidak ada yang bisa mengendalikan.  Kau tahu?  Baru saja aku menabrak mercusuar karena kehilangan kendali saat badai laut datang menghantam.  Terombang-ambing di laut lepas,  jangankan tahu arah,  kapalku pun hilang entah kemana.  Beruntungnya,  kau datang menyelamatkan, begitu cepat.  Kau titipkan kapal yang tidak terlalu luas itu,  lalu kau pergi berlayar lagi meninggalkan janji kembali pulang ke sini.

Narasi ini terlalu panjang untuk dijabarkan,  aku tak yakin kau bersedia membacanya.  Pastinya,  ada rasa syukur dariku tentang mengingatmu.  Ah,  ini hanya mengenang bukan apa-apa yang istimewa.  Kau pernah berkhayal tentang istana?  Dimana semua hal bisa terjadi,  jangan bicara dongeng karena ini dunia nyata. Aku hanya bertanya,  apa kau pernah berkhayal tentang sebuah istana dengan semua hal ada disana.  Saat ada yang memimpin,  dipimpin,  saat permasalahan besar terjadi.  Baiklah,  kau bilang cukup,  ini imajinasi yang terlalu liar. Bahkan mendengar sampai selesai kau pun tak berkenan.

Aku mulai mengenal,  tertarik memperhatikan,  berbisik dalam hati, sedang apa kau disana?  Hanya berani seperti itu tanpa diketahui siapa pun.  Diam-diam mencari perhatian namun rupanya itu tak membuat kepalamu terangkat untukku.  Kaki ini pulang dengan rasa jengkel.  Adzan magrib berkumandang saat kujeda sebentar wudhu dengan segelas teh hangat buatan Ibu.  Selesai mengerjakan ibadah kutinggalkan pamit pada tangan Ibu,  mencari nafkah untuk diriku sendiri.  Rupanya kau menganggu,  bergetar telepon genggamku, Ibu guru ngajar apa emang?  Pipiku merah padam,  kata murid-muridku.  Kuabaikan sejenak.  Aku tak mampu mengontrol detak jantung,  kau fikir itu mudah?  Tidak!  Ini awal mula saat kutahu sepertinya aku mulai jatuh pada palung duniamu,  meski masih kumengelak—sembunyi.

Rupanya ada tawa yang muncul saat kata yang dirasa biasa itu hadir. Hari demi hari yang begitu singkat, tak butuh waktu lama, dan sekali lagi selamat untukmu yang pertama telah membuat fikiranku berubah tentang rasa.

Mengulas tentang rasa. Sayangnya, semilir senja tak pernah salah saat butiran rindunya mulai menggoda. Memberi tanda saatnya merebahkan kenang. Tidak pernah ada yang salah tentang merdunya cinta yang selalu random. Bermunculan tiba-tiba, menyapa lembut. Tidak ada yang salah pula saat kau harus tahu bahwa sebenarnya hanya sedang menemani bayang-bayang. Nikmati saja, biarkan saja, lepaskan. Ini hanya cerita klasik sambil menimati musik indie dan menyeruput hitamnya kopi. Kemudian aku belajar, bahwa kopi mengajarkan yang pahit tidak selamanya menyedihkan.

“Vecha, ada kiriman bunga nih, tadi kesangkut di depan loker aku. Udah seneng tuh dapet bunga taunya buat kamu.” Gerutu Tina, teman satu kelasku.

“Oh masa sih? Tadinya aku mau ngeledekin kamu loh.. Dari siapa ya? Aku enggak ngerasa lagi deket sama siapa-siapa deh.”

“Banyak kali, haha. Nih, Kak Rey, Kak Adi, si orang yang suka merhatiin diem-diem itu, terusss..” belum selesai Tina menjelaskan, aku pergi duluan ke kelas.

Hari ini sudah kuniatkan untuk menyelesaikan sebuah rasa yang tidak ingin kubuat berlarut-larut. Huft, aku harus menerima apapun penjelasannya. Ada tanda tanya besar di dalam kepalaku tentang sebuah tawa yang menjelma menjadi nyaman. Tentang perhatian-perhatian kecil itu. Tentang sesuatu yang terlalu cepat kemudian timbul rasa takut karena waktu belum juga mengizinkan aku. Tentang rasa khawatir yang menggetarkan lututku dan mendorong kaki ini melangkah untuk menemuinya detik itu juga. Tentang rasa tenang saat aku bisa melihatnya baik-baik saja meski punggungnya yang kutatap. Tentang rasa bahagia saat kulihat senyumnya atau hanya sekedar mendengar tawanya menggema di lorong-lorong kelas. Tentang lirih ini berbisik, tinggallah dulu di sini, namun siapa aku? Tentang tatap harap yang berubah menjadi kosong saat kau di depanku, di sampingku, bahkan di belakangku.

Bunga yang indah, selamat pagi/siang/sore/malam. Maaf terlalu banyak karena aku tidak tahu kau akan membacanya kapan. Tanpa kusebut nama, kau pasti tahu bunga ini dari siapa. Aku mengagumi seorang gadis yang selalu ramah kepada semua orang, entah apa lagi alasannya, kau menunjukkan cantik dari dalam diri bukan sekedar wajah. Menengoklah ke belakang saat kau tahu pedih hadapan yang ada di depanmu. Maaf, aku memergokimu menangis seorang diri di bangku taman yang sudah tidak lama dikunjungi mahasiswa di sini, jadi kubelikan bucket bunga yang sederhana ini, sekedar menghibur, semoga menjadi pelipur lara, Vecha.

“Eh Tina, mau kemana?”

“Ini mau photo-copy materi Madam galak itu.”

“Biar aku aja.”

“Eh, jangan, kamu kan lagi baca surat dari si penggemar rahasia itu, haha.”

“Apaan sih, udah sini, aku titip bunga ya.”

Mana kutahu bunga itu dari siapa, dikira aku ini peramal atau dukun apa?! Gumamku dalam hati.  

Gw lagi ngejauhin dia Ji. Tenang aja. Dia juga udah tahu kalau gw engga ada rasa apa-apa.

Suara itu menggema persis menghembus ke depan wajahku yang baru saja menginjak lantai paling bawah. Desir air mata yang memaksa keluar sudah cukup menjelaskan betapa pedihnya hati, luka yang dulu disembuhkannya ternyata dihadirkan kembali. Jawaban atas pertanyaan besar yang selama ini menjadi beban sudah terpecahkan, dan terimakasih waktu kau telah menjelaskan semuanya, kau yang telah sempat menghapus pedih, kau juga yang memberikan rasa yang ternyata baru kusadari semua itu fana.

Dari lorong yang gelap itu, kaki ini perlahan bergerak mundur, memutar tubuh lalu berusaha berlari tapi aku tak mampu. Sambil kuusap mata yang terus basah, tangan yang menggenggam erat kertas-kertas dari Madam Sarah yang seharusnya kuperbanyak untuk dibagikan kepada teman-teman. Rupanya, aku belum siap.

“Veka, kamu kenapa?” Tanya Candra yang menepuk pundakku dari belakang.

“Baik. Aku buru-buru mau photo-copy tugas dari Madam Sarah… Ohiya, satu lagi, namaku Vecha, bukan Veka.”

“Iya tapi kamu nangis..” katanya dengan setengah teriak karena aku menghiraukan penjelasannya dan terus berjalan cepat. “… Veka! Eh. Vecha!”

“Heh! Berisik, jangan teriak-teriak! Ada apaan sih?”

“Temen lo tuh, nangis.” Jawab singkat Candra.

Tina tidak berbicara apa-apa lagi, dia menoleh ke arah aku berjalan, berlari kencang mengejar aku yang sedari tadi menunduk. Langkahnya tepat di depanku saat ini, berhenti sambil memegangi lutut dan mencoba mengatur nafas, “Cha..” belum sempat ia bertanya, aku memeluknya erat dan menjatuhkan semua ketas-kertas yang sedari tadi kuat kugenggam di dekapan. Candra berjalan pelan mendekati aku dan Tina, merapikan kertas-kertas yang brserakan lalu turun ke lantai dasar.

Sore ini, aku hanya ingin mengartikan semuanya sederhana mungkin. Menikmati gerimis yang tak kunjung usai, bercengkrama pada teras yang lembab, tersenyum tipis di balik penat, sambil menyudahkan apa yang seharusnya telah selesai. Begitu saja, mungkin kata-kataku tak seindah dulu, mungkin sekarang aku hanya banyak mengikhlaskan. Iya, begitu saja.

Hari terus berlalu, begitu juga detak jam yang tak hentinya berputar. Semua pertanyaan yang sama tertuju padaku tentang si tuan dan putri bayangannya, aku hampir bosan menjelaskan kepada semua orang. Rupanya ini sungguh menjadi pusat perhatian orang-orang. Aku si putri bayangan yang disandingkan dengan si tuan, sekarang tentang lagu-lagu yang ia bawakan, senandung rindu yang ia lantunkan, dan syair yang ia ciptakan adalah empunya ratu impian masa depannya. Aku hanyalah putri bayangan yang telah diizinkan Tuhan merasakan ada di sampingnya, ada di saat dia mulai bingung pulang kepada siapa, aku yang rela duduk menemaninya melagukan untuk dia yang jauh di sana. Sekali lagi, putri bayangan.

Semusim yang telah berlalu, saat lelahmu selalu menjadi milikku juga, ketika bahagiamu juga buatku tersenyum. Namun kau juga perlu tahu, saat ini sebuah senyuman bukan berarti bahagia dalam diri seseorang, mungkin hanya menjadi topeng agar terlihat semua baik-baik saja, atau agar bisa menenangkanmu supaya jangan hiraukan aku yang masih bersedih. Pergilah. Bodohnya, mengapa masih saja kau tanya tentang perasaan? Pergi saja karena kau juga tak pernah menginginkan, meski dunia merestui. Pergilah.

Pagi itu,

“Roti isi?”

Di lapangan basket yang sudah tidak terpakai, hanya ada daun-daun yang berserakan dan angin yang semilir mengibaskan rambut. Suara itu menggelitik di telinga, emang ada yang jualan roti isi di sini? Kutengok ke belakang.

“Roti isi?” dia mengulang pertanyaannya untuk yang kedua kali.

Huft.. dia menarik nafas panjang dan membuangnya, “Roti isi?” dia mengulang pertanyaannya yang sama dan aku masih memperhatikan kaget wajahnya.

“Eh, iya iya.” Jawabku sambil mengambil roti isi yang ada di tangannya itu.

Manusia memang terkadang lupa menemukan janji-janjinya. Seperti hanya diucap untuk dibuang, sebagai obat bius dan penenang. Sudahlah, jangan menangis, berdoa saja, sebab Tuhan tak akan tidur apalagi meninggalkan wanita yang setabah dirimu, wanita seriang dirimu. –Ki.

“Waktu itu, kenapa kamu seakan-akan berubah, Ki?”

Memang tak ada yang mudah tapi tak ada pula yang sulit. Kau sudah berhasil dengan menjaga senyum, menutup sedih, merendahkan ego, dan meredam emosi. Tampillah di depan dengan apa adanya dirimu, dengan bahasa yang tak menyakitkan, dengan gerak tubuh yang meyakinkan. Musim itu sudah berlalu, Vecha, percayalah kau akan baik-baik saja.  –Ki.



Sabtu, 19 Agustus 2017

Sederhana

Kita mulai dari awal, seperti laptop yang baru di-install ulang, seperti kertas kosong yang belum dilumuri tinta, seperti rumah yang baru dibangun atau baru ditinggalkan pemiliknya, seperti kamu yang sudah lama sendiri, atau seperti aku yang ingin memulai buku baru. Hmm, petugas SPBU juga selalu bilang, "dimulai dari nol ya". 

Tangan ini sadar bahwa tidak dapat menulis tanpa fikiran dan hati. Namun, hati ini juga sadar bahwa kata-kata tidak akan tercipta tanpa adanya warna dalam hidup. Ada hal yang perlu diketahui, bahwa seseorang yang gemar menulis bukan hanya berceloteh ria tapi menyusun dengan sabar kata demi kata agar sedap dibaca, itulah mengapa setiap kalimat yang tercurah seperti mempunyai nyawa, itulah mengapa seorang penulis takkan pernah mati--tulisannya. 

Banyak orang yang penasaran tentang puisi cinta, maksudnya untuk siapa puisi itu ditujukan. Tapi penulis hanya tersenyum sambil memberi isyarat yang tersirat. Tidak ada yang tahu, hanya si penulis dan Tuhan. Coba bermainlah sebentar dalam bola matanya, rasakan betapa hangatnya sinar itu yang perlahan masuk ke dalam hatimu. Coba biarkan fikirannya singgah sejenak dalam hatimu dan biarkan ia merapikan puing-puing yang telah berserakan, membuang apa yang tidak perlu, sambil menyirami bunga yang telah layu. Kemudian, kau akan tahu untuk siapa sajak-sajak itu tercipta. 

Ada yang tidak perlu ditanyakan tentang sebuah rasa, misalnya, kriteria seorang pendamping atau teman hidup, yang tulus hanya akan merasakan kenyamanan dan sebuah rasa aman bila bersama. Tentunya, yang serius akan menyelamatkan dari bahaya, apapun. Lalu, sudikah kau menyelamatkan rinduku yang tidak bertuan? 

Tabah..
Dibiarkan sepasang mata ini jauh
Tak jelas karena kehilangan kaca pembesar
Pun senyummu masih di sana
yang terbawa sampai tiba purnama 

Diam-diam, ada yang pandai bersembunyi di balik ketenangannya. Dari jauh, katanya, padahal hanya tak berani untuk mendekat. Ingin ada di sampingnya, katanya, padahal baru saja mendengar derap langkahnya telapak tangan ini sudah basah berkeringat. Sederhana, bila saja dua pasang kaki ini berjalan beriringan. Sederhana, kalau saja ia tahu bahwa hanya bahagianya yang dicari. 

Ada satu suasana dimana yang gelap begitu terasa terang, saat yang kelam begitu sangat terjaga, dan ketika rasa khawatir diubah menjadi rasa aman. Kalau saja tangan tak sampai, setidaknya waktu telah mengizinkan semua itu terjadi, sederhana kan? Doa tak akan egois untuk meminta semuanya terulang, namun izinkan kedua tangan ini terbuka dan meminta, semoga ada hal yang lebih indah dengan orang yang sama. 

"Kak, boleh minta waktunya sebentar?" 

"Buat apa?"

"Wawancara buat mading kampus. Kalau kakak enggak keberatan."

"Loh? Saya kurus begini kok dibilang berat?" 

"Ah, kakak, bisa aja, hahaha."

Puisi itu jiwa, dik. Menulis itu bakat. Blog itu karena rajin aja. Terkadang, seseorang sulit untuk mengutarakan apa yang dia rasakan, ya paling ujung-ujungnya curhat di caption instagram, hehe. Saya juga seperti itu, tapi alangkah lebih indah kalau berpuisi sedikit karena satu bait puisi aja maknanya luas, apalagi satu puisi penuh, bisa mengungkapkan semua rasa. Misalnya, ada rasa cokelat, stroberi, kacang-ijo, ketan-item, nano-nano deh pokoknya. 

Hahaha.. Kata siapa saya orangnya susah ditebak? Berarti kamu belum mengenal saya, dik, haha. Begini, memang banyak orang terlihat ketawa kesana-kesini, orang yang terlihat cuek, orang yang terlihat tegar, orang yang terlihat ceria aja, orang yang terlihat santai dengan semua kejadian yang sudah terjadi di dalam hidupnya, atau orang yang terlihat jalannya lurus-lurus aja, tapi siapa yang tahu aslinya? Balik lagi ke penulis, sebetulnya, mudah aja, kamu baca tulisan saya, kamu pelajari karakter dalam kata yang saya tulis, pasti kamu akan tahu saya orangnya seperti apa. Karena setiap penulis atau seniman pasti punya ciri khas masing-masing, yang kalau ketemu sebuah tulisan atau ketemu sebuah karya apapun, langsung ada fikiran, 'oh, itu karyanya si A' atau 'oh, ternyata dia orangnya seperti ini loh.' begitu, dik. 

"Kak, boleh minta dibikinin satu bait puisi aja? Langsung tanpa harus ditulis. Tentang romansa."

Kau penyihir, kataku
Bukan tak mau tapi tak mampu
Ajarkan aku untuk tinggal dan menetap
tanpa merasa takut dalam dekap

Lucu, saat hati menggelitik ketika merasa jatuh cinta, mungkin belum tapi semua terasa sempurna. Tanpa sadar hal-hal yang biasa diabaikan akan menjadi kebiasaan yang wajib dilakukan. Merubah penampilan dengan harap mendapat pujian, bukan dari orang banyak, tak peduli apa kata mereka, namun satu kata dari orang yang ditunggu akan sangat berpengaruh. Semua lagu yang terdengar juga seakan menjadi hak milik. 

Hebatnya, 'jatuh cinta' bisa mengajarkan tentang sebuah kesederhanaan. Senyuman yang sama sekali tak pernah ada atau sulit untuk diciptakan, akan sangat mudah terlihat, walaupun disimpan dalam hati. Fikiran yang jenuh karena kepenatan dunia bisa dengan mudah luluh dengan sentuhan lembut seorang malaikat tanpa sayap. Jangankan hal yang rumit, makan satu piring berdua saja serasa sedang makan besar!  

Dua kata yang menggemaskan itu juga selalu membuat gelisah, apalagi kalau sudah ditimpa rindu, obatnya hanya bertemu. Jahilnya wajah saat rindu tak tersampaikan, jerawat tumbuh satu-persatu, ya kata orang begitu. Kembali lagi pada kata sederhana apalah daya kalau tangan tak sampai, bila rindu hanya dirasa sendiri, terkadang bisa terobati dengan satu kata 'hai' dalam sebuah pesan singkat. 

Jatuh cinta yang benar apabila bisa mendewasakan diri, merubah lebih baik, merasa hidup lebih sempurna karena bagian yang rumpang telah ditemukan. Percayalah, tak ada yang lebih bahagia dari berjuang bersama-sama tanpa menjadi orang lain. Bicara tentang berjuang bersama-sama berarti bukan semata-mata tentang manisnya perjalanan tapi menghadapi kesulitan dengan suka-rela sambil berpegang tangan

"Tara, besok ada di rumah?"

Meski gelap akan merenggut malam, walau bintang tidak selalu hadir, sampai hujan hanya terasa dinginnya, terdengar suaranya. Itulah aku dengan segala tak sempurna hidup ini. Itulah aku dengan rupa yang apa adanya ini. Itulah aku yang mendamba matahari untuk melengkapi hari. Sepertinya, kau yang telah cepat membuat alunan kata ini tercipta lagi, setelah tidak pernah berani untuk mengenal. 

Tubuh mulai terjebak malam
yang bisu tanpa kata atau malah tenggelam olehnya
Sadarkan aku pada rupa yang tak indah ini
Namun izinkan aku berbisik walau hanya setitik

Rabu, 01 Februari 2017

Payah!

Hujan melintang di antara awan
Parau menari-nari di tengah badai
Embun membuat mesra di rintikan
Sedang payau bersalut menjadi biru
Lalu diam kepada kantung mata yang menebal
Ini bukan misteri
Mungkin ilusi yang selalu fana
Ketulusan telah menjadi ironi
Sederhana doa berlayar di pelupuk
Saat hanya sujud terdengar merdu
dan syahdu
Waktu tak akan menunggu
Bumi semakin menua
Aku pun semakin payah
Bolehkan?
Bisikkan di telinga satu kalimat
"Aku bangga memilikimu"